Wednesday, July 30, 2008

Maafkan Aku Ibu

(Riosyam, cerpen)

Setiap sepertiga malam jauh sebelum adzan subuh berkumandang, ibunya telah terbangun dari tidurnya, sebuah rutinitas yang selalu ia jalani dengan tulus dan ikhlas. Tak lupa berdoa ketika jiwa ini kembali kepada jasad, Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu ia selalu menyentuh wajah anaknya yang tertidur pulas dengan sapuan bekas air wudhunya tadi dengan seuntai doa lirih yang terucap di hati “semoga kau kelak menjadi anak yang sholeh, wahai anakku”, Kemudian ia melangkah ke sebuah ruangan kosong yang hanya berhiaskan lafadz-lafadz Kalamullah di beberapa sudut ruangan itu dan tergeletak beberapa sajadah, mukena dan Al-Qur’an, sebuah ruangan mungil yang khusus dirancang oleh almarhum suaminya yang telah pergi meninggalkannya 12 tahun yang lalu ketika putra semata wayangnya bernama Ramsyah berumur 5 tahun, ruangan yang selalu mengingatkannya kepada almarhum suaminya, karena diruangan itulah ia dan suaminya selalu merendahkan diri di hadapan Sang Maha Tinggi, ruangan yang dimana sang suami selalu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, ruangan yang dimana ia dan suaminya menangis bersama, memohon ampun, bersujud, bersimpuh di hadapan-Nya.

Malam itu setelah menjalankan sholat malam dengan khusyuk, ia kembali teringat kenangan selama hidup dengan suami tercinta, ia teringat bagaimana perjuangan suaminya untuk membahagiakan dirinya, suami yang begitu penyabar, suami yang penyayang, suami yang menjadi pelita bagi dirinya, suami yang menjadi sahabat dalam bercerita, suami yang menjadi teman ketika tertawa dan bercanda, serangkai doapun ia panjatkan untuk suami yang telah menuju ke alam kubur.

“Ya Rabb…Ya Allah, tiada sedikitpun hal yang berlalu dari Mu, tiada sehelai daunpun yang Luput dari perhitungan-Mu, Yang Maha Mengetahui isi hati seluruh manuisa, Engkau lebih mengetahui selama masa hidup suami hamba, Engkau lah yang lebih mengetahui apakah ia manusia yang baik atau yang buruk, apakah ia suami yang bertanggung jawab atau tidak, apakah ia beriman dengan lurus atau tidak, Ya Rabb…..bukanlah hamba ingin menentangmu, bukanlah hamba yang hina ini berani membantahmu, bagi hamba ia adalah suami yang bertanggung jawab, ia berjuang menafkahi hamba dan puteranya dengan jalan yang halal, ia memberikan cinta yang dengan cinta itu hambamu yang kotor ini Ikhlas ketika Engkau memanggilnya, Ikhlas ketika tanah terakhir menutup jasadnya di liang lahat, tak ada sesuatu pun hal buruk yang ditinggalkan, jikalau ada sekalipun, hamba telah memaafkannya, Ampunilah ia , mudahkanlah ia ketika MalaikatMu menanyai nya, terangi lah kuburnya dengan cahaya MU”
Isak tangis yang selalu ia tumpahkan seusai sholat malam, ia yakin…karena waktu sepertiga malam adalah waktu yang dicintai oleh Allah, dan Allah lebih berkenan untuk mengabulkan doa-doa hambanya.

Ia pun teringat kembali kepada Putra sulung dan putra satu-satunya, yang malam itu masih tertidur pulas, ia teringat bagaimana ketika Ramsyah masih berumur 5 tahun telah ditinggal pergi oleh ayahnya, bagaimana perjuangannya membesarkan dan membiayai Ramsyah seorang diri hingga akhirnya kini ia berumur 17 tahun, sekarang Ramsyah telah menuju remaja, ia kini telah bersekolah kelas 3 di STM Jakarta Barat, sebentar lagi ia akan menamatkan sekolahnya, dan Ibunya berencana akan menguliahkan Ramsyah ke bidang Teknik karena hobi anaknya sewaktu kecil adalah mengotak-atik barang apapun, walaupun terkadang barang tersebut malah menjadi rusak. Sewaktu kecil Ramsyah sering menanyakan “Ibu…kenapa teman-teman amsyah yang lain punya Ayah…kok amsyah gak punya ya Bu…emang Ayah kemana Bu….amsyah juga pengen punya Ayah kayak teman-teman, Teman-teman sering cerita, katanya Ayahnya sering ngajak jalan-jalan, maen bola, kuda-kudaan…”, setiap kali ia mendengar perkataan dari anak yang masih polos dan begitu lugu, ia selalu berlinangan air mata, dengan mengusap air mata, ia selalu memikirkan apa jawaban yang cocok untuk anak yang belum mengerti ini, dengan hati tersayat ia selalu berusaha tabah dan sabar, ia hanya menjawab “Nak….Ayah pergi ke tempat yang jauh sekali, dan nanti suatu saat amsyah bisa kok ketemu sama Ayah asal amsyah jadi anak yang baik, anak yang sholeh, nanti amsyah bisa maen sama Ayah, maen bola, maen kuda-kudaan, pokoknya amsyah bisa jalan-jalan sama Ayah….”, Ramsyah pun menjawab “asyik…benar ya bu…amsyah janji amsyah akan jadi anak yang choleh bu….”.
Ia selalu mendoakan anaknya agar ia menjadi anak yang sholeh, anak yang berbakti, anak yang selalu mendoakan Ayahnya.

“Ya Allah..yang meniupkan ruh kedalam jasad, yang mengarunia buah hati kepada hamba, ampunilah hambamu, jikalau hamba tidak dapat mengurus titipan mu kepada hamba dengan baik, ampunilah hamba jikalau sedikit sekali hamba mengenalkannya dengan Diri-Mu ya Allah, Ya Allah ampunilah segala dosa yang diperbuat anakku, karuniakanlah rahmat, hidayah, kepadanya sehingga ia menjadi hambamu yang sholeh, hambamu yang memegang teguh tali AgamaMu.”

Tetapi ternyata Allah mengujinya , Ramsyah remaja tak seperti Ramsyah sewaktu kecil, dimana sekarang Ramsyah tumbuh menjadi pemuda yang nakal, sehari-hari yang ia lakukan di sekolah adalah selalu berkelahi dengan teman-teman sekolahnya, setiap kali ia pulang kerumah, dengan baju sobek dan muka penuh luka, dan selalu keesokan harinya Ibunya selalu dipanggil menghadap Wali kelas.
Sebagai seorang ibu, ia merasa terpanggil untuk menasehati, karena ia tak mau anaknya menjadi anak yang nakal, Ibunya selalu menasehatinya dengan penuh kesabaran, “Nak….ada apa toh nak…kok amsyah sekarang sering berkelahi dengan teman-teman amsyah….emang amsyah ada masalah….. cerita sama ibu ..siapa tahu ibu bisa bantu amsyah…bukannya amsyah selalu cerita kalo ada apa-apa sama ibu…kok sekarang amsyah ngomong aja jarang sama ibu….”, Dengan muka penuh murka dan raut wajah yang geram, Ramsyah hanya menjawab “sudahlah bu…amsyah capek…ibu gak usah sok tahu lah..pusing gua denger ibu ngomong mulu…..udah sakit-sakitan…dicermahin pula…, Ibu maunya apa sih…mau..! amsyah mati aja ….”. Ibu menjawab “maksud ibu bukan begitu amsyah….ibu tuh…gak mau anak ibu jadi anak yang nakal, karena ibu yakin anak ibu itu,,,orang yang baik…”, “Ah……bosan gua…..udahlah bu…jangan ganggu amsyah lagi, ibu urus aja pekerjaan ibu di dapur,….mau dibilang anak nakal, brandal….emangnye Gue Pikirin, terserah.!! .amsyah..ya…amsyah…, sudahlah amsyah mau ganti baju dulu….”, begitulah setiap kali Ibu menasehati nya Ramsyah selalu menjawab dengan rasa penuh tidak hormat kepada orang tua.
Saat ini setiap apa yang dilakukan oleh Ibunya Ramsyah selalu menggerutu, celotehan yang sinis selalu ia lontarkan kepada ibunya, setiap disuruh sholat “nak….bangun dah adzan subuh tuh…yuk bangun…berjamaah sama Ibu, kamu jadi imamnya”, dengan mata masih sengaja dipejamkan, Ramsyah menjawab dengan kasar “sudahlah bu….sholat aja sendiri..ngak usah ngajak-ngajak amsyah masuk surga….biarin amsyah mah neraka aja bu…biar Ibu puas gak pernah gangguin amsyah lagi” , Ya Allah nak “istighfar”, Ramsyah pun kembali tertidur dengan tidak ada sedikitpun perasaan bersalah kepada seorang Ibu yang begitu tulus menyayanginya, yang begitu tulus membimbing, mendidik, tetapi apa daya harapan Ibu tak sebanding dengan apa yang diberikan oleh Ramsyah. Dengan linangan air mata ia berdoa dalam setiap sujud nya “Ya…Allah ampunilah anakku….”.

Tetapi semakin hari, kelakuan Ramsyah semakin tak karuan, ia habiskan hari-hari dengan nongkrong bersama teman-teman satu genk nya, merokok, ngobrol, tertawa. Sudah lama ia tidak pernah bercanda dengan ibunya, kini Ibu nya bagai musuh dalam kandangnya sendiri. Setiap melihat ibunya ia begitu benci, ia begitu sinis, terkadang ia sengaja melakukan perbuatan yang tak senonoh dihadapan Ibunya, seperti sengaja merokok di hadapan ibunya, kebut-kebutan dengan teman-temannya melewati depan rumah,. Telah begitu banyaknya, sampai tak terhitung tanpa lelah, dengan selalu penuh kesabaran, Ibu selalu menasehatinya, tetapi tak satupun di gubris oleh Ramsyah. Ramsyah semakin asyik berlarut dengan dunia kenakalannya. Berkelahi, merokok, nongkrong, bergadang, kebut-kebutan, itulah kehidupan sehari-hari Ramsyah dalam masa remajanya. Ia telah terjerumus dalam lubang dimana banyak sekali anak-anak pada jaman ini terjerumus kedalam lubang yang sama seperti yang dialami oleh Ramsyah. Tanpa Lelah ibu selalu berdoa, entah berapa banyaknya tangisan yang keluar dari matanya, tapi Ibu tak pernah lelah, Ibu selalu yakin suatu saat anaknya akan menjadi anak yang baik. Ibu teringat akan kisah Nabi……. yang tetap bersabar berdoa untuk mendapatkan seorang Putera dikala umurnya dan umur istri nya yang tidak lagi Produktif, tetapi karena kesabaran, keyakinannya itulah Nabi ….dikarunia seorang putera oleh Allah swt. Ibunya percaya dan yakin dengan hal itu, Ibunya yakin anaknya akan menjadi anak yang sholeh, anak yang baik, anak yang memegang teguh tali agama Allah.

Pagi itu, seperti hari-hari biasanya, ibu selalu memasak untuk sarapan Ramsyah sebelum berangkat kesekolah. Hari itu Ibu memasak masakan kesukaan Ramsyah yaitu dendeng balado dan gulai tempe, seperti biasa pula Ramsyah baru akan terbangun benar-benar ketika waktu masuk sekolah sudah benar-benar dekat, padahal dari subuh Ibunya selalu berusaha untuk membangunkannya, tetapi Ramsyah tak sedikit pun tergerak untuk membuka pejaman matanya. Pagi itu setelah semua pekerjaan rumah selesai, memasak masakan kesukaan Ramsyah pun selesai dan ibu kemudian menghidangkan masakan di meja makan. Hari itu Ibunya berniat akan mengunjungi nenek Ramsyah yang sudah lama tak dikunjungi dengan membawa beberapa oleh-oleh dan masakan dendeng dan gulai tempe. Dengan pakaian yang rapi, dengan mengenakan kerudung warna hijau nan tergerai menutupi sebagian tubuhnya itu, setelah selesai berbenah barang bawaan, Ibu belum mendapati Ramsyah terbangun dari tidurnya, lalu ibu pun menghampiri ke kamar Ramsyah, dimana tertempel foto-foto seorang pria berwajah kusam dengan sebatang rokok di tangannya dengan rambut yang seperti tidak disisir beberapa tahun, kusam, dan kasar, dibawah foster itu tertulis “Rasta Mania”. Ibu bersusah payah membangunkan Ramsyah, akhirnya dengan terpaksa dan muka yang sinis, ia terbangun juga. “nak….ayo..langsung mandi…udah jam tujuh lewat tuh….entar amsyah terlambat….entar abis mandi…jangan lupa sarapan yah itu ada dendeng dan gulai tempe kesukaanmu….Hari ini ibu mau berkunjung kerumah Nenek….”, “iya…iya….bawel banget sih….pergi aja sana…”, cetus Ramsyah kepada Ibunya.

Tapi tak seperti biasanya, hari itu Ibu meninggalkan secarik kertas yang telah ditulisnya, dan diletakkan di meja mekan, supaya sewaktu Ramsyah sarapan, ia membaca tulisan itu. Setelah selesai mandi dengan terburu-buru, ramsyah langsung mengenakan pakaian sekolah yang tadi malam telah disiapkan oleh Ibu dengan aroma yang begitu harum,tidak seperti biasanya. Tak sempat sarapan, karena ramsyah telah terlambat setengah jam, dan Ibu telah pergi juga kerumah nenek. Gerutu dalam hatinya, sambil jalan tergesa-gesa “akhirnya hari ini gua bebas…ibu pergi kerumah nenek…”.
Ternyata selama beberapa hari Ramsyah telah merencanakan bahwa ia dan genk teman-teman sekolah nya akan menyerang STM Negeri 4 yang berada tidak jauh dari sekolahnya tepatnya penyerangan itu akan dilakukan hari ini, disebabkan karena ada salah seorang temannya yang dipalak dan dipukulli oleh anak Genk sekolah itu. Teman-teman yang sudah menunggu nya di persimpangan jalan, dengan membawa berbagai alat, seperti pentongan yang dimasukkan kedalam tas. Ketika ia telah sampai dengan gerombolan teman-temannya, salah seorang temannya berkata “gimana neh…udah siap belum..”,”so pasti siap..haajaaaar..” seru semua teman yang lain. Mereka sebanyak kurang lebih 30 orang, berjalan menuju sekolah yang akan diserang, dan ternyata anak-anak genk Sekolah STM N 4, telah mengetahui rencana penyerangan ini, sehingga mereka pun telah mempersiapkan diri, dengan berbagai persenjataan. Akhirnya ketika sekian lama menunggu, bel istirahat pun berbunyi dan segerombolan siswa, dan anehnya hanya gerombolan laki-laki saja, “sial…mereka sudah pada tahu…”, “ayo serang…”, teriak ketua pemimpin dari kedua kubu genk tersebut, tak ayal dalam waktu singkat berhamburan siswa-siswa yang masih menggunakan serangam itu sehingga terjadi keributan, perkelahian, saling tinju, saling tendang, saling lempar batu, ketika perseteruan semakin sengit, Ramsyah tersontak diam ketika melihat salah seorang siswa dari genk sekolah musuhnya mengeluarkan sebuah pisau yang diselipkan di pinggangnya, pisau itu diangkatnya dengan penuh murka dan hendak ia tusukan ke perut teman dekatnya ramsyah, ketika siswa itu melayangkan pisau tersebut terlihat olehnya seorang Ibu berlari kearah itu dan…………..”sebuah tusukan pun terhunus kedalam perut seorang ibu yang berusaha menghalangi seorang siswa yang akan tertusuk”, seorang ibu tersebut pun terkapar dengan bersimbah darah tak sadarkan diri, temannya itu berteriak…..”IBUUUUU”, dan ternyata wanita tua yang melindunginya tadi adalah ibunya.

Ramsyah pun terdiam, semua siswa lari terbirit-birit, tinggallah di tempat itu hanya ramsyah, sang ibu yang terkapar dan seorang anak yang menangisi ibunya, para guru pun berhamburan keluar mendengarkan teriakan dari siswa tersebut. Ramsyah pun berlari dengan sekencang-kencang nya, setelah dirasa ia sudah cukup jauh berlari, ramsyah terduduk capai dan lelah dibawah sebuah pohon nan rindang, spontan ia teringat akan ibunya, ia teringat bagaimana begitu sayangnya ibunya kepadanya, ia teringat bagaimana ibunya seorang diri membesarkannya, ibu yang selalu berada disampingnya, yang selalu mendidiknya dengan sabar, yang selalu mengajaknya bermain, yang menghiburnya ketika ia sedih, yang selalu mendoakannya, yang sabar dan tabah dengan perilaku buruknya, yang tak pernah mengeluarkan kata sumpah serapah, Tak sadar air mata Ramsyah pun bercucuran dengan deras, seketika pun ia berdiri, ia rindu kepada ibunya, ia ingin saat ini ia ada dalam pelukan ibunya, ia berlari kencang pulang menuju rumah dengan sejuta rasa rindu yang berkecamuk.

Sesampainya didepan rumah, ia tersentak melihat kerumunan orang, dan bendera kuning yang dikibarkan, Ramsyah berusaha melangkah ke depan pintu dengan tubuh tergopoh…sang nenek pun datang memeluk Ramsyah dengan erat,,,,”cucuku….sabar ya, ikhlas ya, Ibu sudah pergi untuk selamanya… “, ternyata sang ibu telah pergi untuk selamanya, kejadiannya ketika sang ibu menyebrang jalan, sebuah truk menabrak ibunya. Bahkan ramsyah pun tak sempat melihat pemakaman ibunya, karena ibu nya langsung dikuburkan karena jasadnya sungguh mengenaskan. Ramsyah pun terjatuh, kaki lunglai tak bertenaga, badannya terasa hancur, ia menangis sejadi-jadinya, ia menyesal dengan penyesalan yang amat terasa sangat, kemudian ia berlari kedalam rumah, ia menuju meja makan, dan di tumpahkannya lah seluruh makanan yang ada di meja makan itu, karena kekesalannya kepada dirinya sendiri. Dan ia melihat secarik kertas yang tertulis “Nak…..hari ini ibu masak, masakan kesukaanmu…dendeng dan gulai tempe, jangan lupa dimakan ya nak, yang baik…..ibu pergi dulu, mungkin ibu pergi cukup lama….jangan lupa kalau ibu gak ada dirumah, jaga rumah baik-baik….jadi anak yang baik ya nak….”

Ramsyah pun berlari kencang, dengan air mata yang terus mengucur, dengan sejuta himpitan penyesalan di hati nya, dengan sejuta rindu, ia menuju kuburan ibunya, dengan bersujud dan menciumi tanah penutup jasad ibunya :
“ ibu….kenapa engkau pergi ketika anakmu menyesal, ketika anakmu berubah, ketika anakmu ini ingin berbakti…Ibu aku rindu dengan senyummu, aku rindu dengan belaianmu, aku rindu dengan kasih sayang mu, aku rindu dengan pelukanmu, aku rindu ibu…aku rindu…ibu…..
Ibu, ikhlaskah kau ketika kau pergi meninggalkan diriku dengan keadaan seperti ini, Ibu maafkan aku…ibu…maafkan aku, ibu apakah kau mendengar perkataan…ku ini, apakah kau memaafkan aku atas semua kesalahan dan kebodohan ku, ibu aku berjanji ibu..aku berjanji ibu…aku akan menjadi anak yang sholeh, aku akan menjadi anak yang berbakti, anak yang baik…tapi kembalilah ibu, bukankah ibu ingin melihat diriku menjadi anak yang baik……
Ibu, selamat jalan……Ibu, AKU SAYANG PADAMU…Ibu, maafkanlah anakmu ini ”

Semoga bermanfaat……

Kritik dan saran : riosyam@yahoo.com

No comments: