Wednesday, July 2, 2008

Berbakti Sebelum Terlambat


“aku ingin seorang ayah yang mengerti diriku, yang mengajakku bermain, yang tertawa bersama dalam keceriaan, yang mengerti ketika hatiku ku gundah, yang menuruti apa yang aku inginkan, tetapi harapan-harapan itu hanyalah semu yang terangkai indah dalam alam pikiran yang tak berwujud rupa. Ayah hanya menghabiskan waktu nya dengan segala runtunan kegiatan hidup nya sendiri, hanya secuil perhatian yang ia berikan, ia hanya menanyakan pertanyaan yang terlalu bosan aku dengar, yang terlalu jenuh untuk ku perhatikan, tak ayal banyak perlawanan dan pembangkangan yang ku ajukan kepada dirimu ayah, jangan salahkan aku ketika perkataan penentangan ku ucapkan. Karena kau tak pernah ingin tahu siapa diriku ini yang sebenarnya, kau tak punya hirau ketika ku bermasalah, hanya semangat kosong dan dorongan kejenuhan yang selalu di ucapkannya. Ayah apakah kau lupa aku ini anakmu, dalam diriku ini mengalir darah mu, mengalir sebagian sifat-sifat mu, tidak kah kau mengerti, tidakkah kau ingin, tidakkah kau merasa, tidakkah…..aaaaah….percuma berjuta harap yang ku letakkan dipundakmu. Tak bergeming jiwa mu untuk menggerakkan wujud sebuah kenyataan. Ayah tahukah dirimu…aku bukanlah piaran yang hanya bisa kenyang dengan kau beri makanan, yang tenang ketika kau berikan penutup diri dari teriknya kehidupan, yang gembira dengan bertumpuknya mainan. Ayah hatiku kosong……jiwa ku kering…..batin ku menjerit….. Dimana kau ketika anakmu membutuhkan dirimu, bukan uang yang bisa membahagiakan ku, bukan harta yang menentramkan ku, bukan kendaraan yang membuat diriku berjalan.”
Tidak...!!
Tidak…!!
Ternyata semua itu salah, semua itu hanya keegoisan diriku.
Semua itu hanya rangkaian kekosongan jiwa ku dari kebersyukuran.
Semua itu hanya buah dari terlalu tingginya harapan diriku.
Semua itu hanya lantunan kegundahan diriku karena kosong nya diri ini dengan iman.
Semua itu hanya hembusan syetan karena kekeringan yang melanda hati.
Ketika jiwa dan batin ini tersadar, ketika jiwa ini menangis meratapi kehidupan masa lalu yang penuh dengan gelimangnya relung-relung hitam kehidupan, ketika mata hati ini tersiram dengan secuil cahaya iman, ketika kemelut diri untuk sebuah masa transisi, ketika sebuah hijrah kan terjadi, ketika ke-istiqomahan kan diuji. Sebuah kehendak-Nya yang siapapun tak dapat menolak , tak dapat membantah, tak dapat menghentikan, Tuhan mempunyai kehendak lain ketika hati ini siap untuk mengabdi memberikan sepenuh cinta untuk sebuah pembalasan pemberian seorang Ayah yang tak terukur luasnya yang tak pernah ku sadari.
Hatiku menjerit kembali ketika melihat seorang Ayah meregang nyawa untuk terakhir kalinya menghirup nafas didunia ini, seketika itu pun tak ada lagi jiwa dalam diri Ayahku, jiwa (ruh) yang telah dipanggil untuk kembali kepada zat yang mencipta, kembali kepada kehidupan yang kekal dan kehidupan yang sesungguhnya sebagai manusia yang dicipta oleh Sang Maha Pencipta. Ayah kulihat senyum terakhir mu, kuingat perkataan terakhirmu, kuingat betapa beratnya ketika nyawamu kan di cabut. Ayah…maafkan diriku yang tak pernah mengerti perasaan mu, maafkan diriku yang tak pernah berbakti kepadamu, Ayah…maafkan diriku yang belum bisa menunjukkan pembaktian di awal kehidupanmu, kini kau telah pergi…untuk selamanya dari dunia fana ini…..
Tangis inilah Ayah bukti rasa sayang, rindu, cinta, bakti yang selama ini terpendam.”

Hikmah :
Mungkin cerita diatas ini terjadi pada sebagian diri kita, dan sebagian lagi mungkin tidak terjadi, hanya Allah yang Maha Tahu untuk mengetahuinya. Karena kesadaran diri seorang pemuda yang tak pernah tumbuh dan tak pernah berusaha untuk di tumbuhkan oleh pemuda tersebut. akhirnya harapan-harapan , bisikan-bisikan kosong pun telah dirasuki oleh syetan, dimana bisikan tersebut hanya ber-iyakan serta berisikan perihal kekurangan orang lain, selalu melihat dan hanya untuk dan ingin melihat kekurangan orang lain adalah salah satu faktor mengapa selama ini hubungan kita dengan pihak tertentu entah orang tua, teman, saudara menjadi tidak harmonis karena harapan yang telah terangkai dalam pikiran tak sejalan dan searah dengan kenyataan yang berkata lain di lapangan. Itulah satu fitrah kehidupan lagi yang harus kita sadari jauh-jauh hari, sekarang, bahkan detik ini bahwa setiap manusia itu berbeda satu sama lain, kita tidak dapat memaksakan orang lain seperti apa yang kita inginkan, kita tak dapat memaksakan kehendak dan keinginan kita agar orang lain seperti ini, seperti itu.
Sebenarnya perbedaan itu bukanlah sebuah jurang yang memisahkan kita melainkan sebuah jembatan yang dapat menyatukan kedua sisi yang berbeda walau terkadang jalan untuk penyatuan terkadang terbentur oleh lubang-lubang ke-egoisan, dan tersandar oleh batu-batu kekerasan hati. Inilah hidup…sekali lagi hidup adalah sebuah pelajaran dimana dari perbedaan inilah kita dapat belajar bahwa Allah maha mulia dimana Allah mengkaruniakan kepada setiap hambanya perbedaan sifat, keunikan yang berbeda. Jadi belajarlah untuk menerima dengan ikhlas jikalau teman, orang tua, dan entah siapapun yang kita kenal tidak sesuai dengan yang kita harapkan, karena dengan penerimaan ini lah kita dapat saling melengkapi, saling mengisi jikalau terjadi kekosongan. Berbaktilah….ketika kesempatan itu masih ada, ketika waktu didunia ini belum berhenti, ketika nafas panjang masih nikmat terhirup, ketika jiwa ini masih melekat dengan daging diri ini. Tidak ada manusia yang sempurna sehingga bahwa ada jalan untuk berubah, masih ada kesempatan untuk perbaikan, selagi ruh ini berada dalam seonggok aku. Mungkin alangkah baiknya kita yang menempatkan diri sendiri sebagai orang yang menyenangkan lebih menenangkan untuk diri sendiri daripada terlalu berharap orang lain akan menyenangkan kita, karena Allah lah yang meniupkan rasa kesenangan, kenyamanan kepada seseorang
Ada sebauh pernyataan dari salah seorang ustadz, yang menurut penulis sendiri dapat kita tanamkan dalam-dalam di hati kita :
“ingat 2 hal dan Lupakan 2 hal “
“ingat kebaikan orang lain dan ingat keburukan diri sendiri”
“lupakan keburukan orang lain dan lupakan kebaikan diri sendiri”.

“Jangan sampai penyesalan itu datang ketika nyawa ini telah kembali kepada sang Pemilik-Nya, penyesalan itu tidaklah ada artinya sedikitpun sekuat dan sekeras apapun kita menyesal. Karena Ketika Ruh ini kembali maka terputuslah kita dengan segala perbuatan, dengan segala pencarian amal, dengan berbagai perihal pengumpulan tabungan. “
Semoga tulisan ini bermanfaat……
Wallahu A’lam bish-showaab.

No comments: